Rabu, 17 November 2010 By: Anshar Daenk

Belajar Mencinta di Kawah Ijen

Sang fajar telah terbangun dari tidurnya saat saya beserta team berangkat mengunjungi kawasan wisata Kawah Ijen, yang berlokasi di Kabupaten Banyuwangi. Untuk menuju ke kawah ijen,  kami memulai perjalanan dari Bondowoso. Kami menempuh jalur ini disebabkan jalur dari Kalibaru mengalami rusak parah dan tidak dapat dilewati oleh kendaraan biasa. Gunung Ijen merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur yang selalu ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara.  Untuk menuju ke Kawah Ijen, perjalanan akan melintasi keindahan hutan lindung dan perkebunan kopi. Terkadang di sepanjang perjalanan terlihat para pekerja tambang belerang sedang berada dalam kendaraan truk pengangkut menuju ke kawah ijen. 

Kawah Ijen yang sedang mengepulkan asap yang tebal karena hujan yang mengguyur
Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar 1 jam dari Bondowoso kami pun tiba di kawasan Paltuding,  daerah yang merupakan titik awal menuju ke kawah ijen. Disana terlihat banyak wisatawan mancanegara yang telah menuruni kawasan kawah ijen. Memang biasanya pengunjung memulai pendakian sekitar jam 4 subuh dan turun sekitar jam 8 pagi, untuk menyaksikan matahari terbit (sunrise view) dan juga menghindari terik panas matahari, karena medan hanya bisa dikunjungi dengan jalan kaki sejauh 3 km dengan tanjakan yang sangat terjal.
Kami pun sepakat untuk beristirahat sebentar dan mempersiapkan perlengkapan untuk mendaki kawah ijen. Tepat pukul 08:00 WIB, kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke kawah Ijen.  Perjalanan ke kawah ijen dimulai dari Paltuding yang merupakan sebuah pos Perhutani di kaki gunung Merapi- Ijen. Untuk menuju ke kawah ijen biasanya dibutuhkan seorang pemandu, tapi kali ini kami memutuskan tidak menggunakan jasa seorang pemandu. Pendakian pun dimulai dengan cuaca sangat bersahabat. Seolah sepanjang perjalanan kami dikawal mendung dan kabut yang menutupi matahari, namun tetap juga tak turun hujan.

Dalam pendakian kami bertemu dengan para penambang belerang yang memikul bongkahan belerang. Juga tampak rombongan turis yang berjalan bersama keluarga mereka, diantaranya ada yang berasal dari Perancis, Kanada, dan Amerika Serikat, dan ada juga satu rombongan kecil keluarga dari Bandung. Beberapa orang Indonesia yang kami temui memutuskan untuk tidak mendaki setelah mendengar sulitnya medan pendakian. Saya pun mengalami hal yang sama, beratnya medan dan bau belerang yang sangat menyengat sempat membuat saya merasa pusing dan mual sehingga sempat berhenti beberapa kali.

Tampak seorang buruh sedang mengangkut batu belerang dari Kawah Ijen
Di suatu tempat pemberhentian saya bertemu dengan seorang pria paruh baya yang biasa dipanggil pak Im. Pria tersebut merupakan salah satu warga lokal yang bekerja sebagai penambang belerang dan sekaligus pemandu wisata.  Saya pun sempat berbincang-bincang dengan beliau mengenai kawah ijen, dan setelah berbincang-bincang cukup lama kami pun melanjutkan perjalanan sambil sesekali Pak Im memungut sampah plastik yang berserakan di jalan menuju kawah ijen.  “Mas, ini yang buang sampah orang-orang kita sendiri (Indonesia), dan yang memungut sampah justru orang asing serta kita para penambang mas. Kata orang bule itu "no good" kalau ada sampah plastik di jalan berserakan”, ujarnya. Dari hasil pembicaraan kami sepanjang perjalanan saya menjadi kagum dengan sosok beliau yang cerdas, santun dan tulus mengabdikan dirinya selama 18 tahun untuk menjaga kelestarian kawasan kawah ijen.

Seorang buruh angkut belerang yang sedang beristirahat sejenak
Setelah berjalan sekitar 1 jam kami pun tiba di puncak, suasana puncak yang berkabut sempat menghalangi pemandangan kami sehingga jarak pandang kami hanya beberapa meter. Namun hal itu tak berlangsung lama, dalam waktu sekejap kabut berhenti berarak, dan bersamaan dengan itu tersibak pemandangan pegunungan yang indah dan kawah Ijen yang luar biasa memukau. Kami pun tak melewatkan pemandangan indah yang terhampar di depan mata. Setelah puas menikmati keindahan kawah ijen kami pun bergegas turun kembali ke posko. 

Ketika dalam perjalanan turun ke posko hujan menguyur seakan mengejar kami, namun disinilah saya melihat suatu hal yang tidak biasa. Pak Im seakan "berbicara" kepada hujan: "berhenti dulu ya” dalam bahasa jawa. Dalam waktu sekejap seluruh kawasan yang diguyur hujan tiba-tiba berhenti.  Saya pun bertanya tentang bagaimana pak Im seolah bisa berkomunikasi dengan hujan. Dijawabnya dengan tenang, "Dengan Cinta mas, kita minta kepada Allah SWT bahwa kita Cinta Ijen, ciptaan-Nya, dan kita mohon agar pengunjung bisa menikmati Ijen dan juga mencintai Ijen serta mencintai Allah SWT yang menciptakannya. Tapi tentu saja kita harus jalankan perintah Allah SWT mas, sholat 5 waktu dan menjauhi segala larang-Nya”.

4 komentar:

Nurul Hida mengatakan...

anda beruntung. Saya yg orang jatim saja belum pernah ke sana

Anshar Daenk mengatakan...

haaahaaa
ayo dong ke sana, jngan lupa ajak2 saya

Unknown mengatakan...

Daenk, kalau lu belajar mencinta di Kawah Ijen.
Kalau gue Jatuh Cinta di Kawah Ijen.
hehe
Daenk Keren :)

Anshar Daenk mengatakan...

haahaaa
jngan-jngan sbelum loe k papua loe bljar mncintai diriku..
jadi malu nie

Posting Komentar