Kamis, 18 November 2010 By: Anshar Daenk

Kota Adipura yang Religius

Tugu Adipura yang menjadi kebanggan masyarakat Kota Sumenep
Waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul 13:35 WIB saat saya dan rekan saya tiba di Sumenep. Kami yang berangkat dari International Juanda Surabaya menggunakan Avanza hitam  tepat ukul 07:30 membuat kami sangat lapar, tentu saja, 5 jam tanpa asupan makanan. Oleh karena itu saat melintas di sebuah jalan, pendamping kami yang telah diinformasikan oleh panitia detik.com, mengantarkan kami ke sebuah warung yang menjual aneka jenis makanan soto. Dan kami pun tergoda untuk mencicipi kelezatan aneka jenis soto tersebut.

Selama perjalanan, Mas Dodo atau nama lengkapnya Widodo Priyo Wasono (nama pendamping kami) langsung bercerita mengenai Sumenep, keistimewaan dan objek wisata  apa saja yang ada di kota ini. Saat ia bercerita, saya dan rekan pun langsung melahap semua pemandangan yang ada di depan mata. Bersih adalah kata yang paling tepat menurut saya untuk mengungkapkan Sumenep di awal perjalanan ini. Tiada sampah dan bersih, beda dengan Ibukota Jakarta yang menjadi langganan banjir karena banyaknya sampah berserakan dimana-mana.


Mungkin karena itulah Pemerintah Kabupaten Sumenep kembali meraih penghargaan Anugerah Adipura tahun 2010 untuk kategori kota kecil serta sedang bersiap mengikuti Anugerah Adipura Internasional. Dan ini bukan pertama kalinya Sumenep menerima Anugerah Adipura, namun ini raihan Anugerah yang ketiga kalinya sejak tahun 2008 hingga tahun 2010. "ungkap bapak Muthalib Kasim, pegawai Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sumenep"

Selain itu, saya berpendapat bahwa Sumenep merupakan kota yang religius. Hal ini dapat dari banyak masyarakat Sumenep yang memang dasarnya sangat religius serta jumlah Masjid banyak sekali, bahkan jarak antara masjid 1 dengan masjid lainnya pun tidak sebanyak di kampung halaman saya Makassar, yang juga masyarakatnya mayoritas muslim.

Limas belas menit kemudian kami pun sampai di tempat penginapan yang telah dipesankan oleh pihak panitia. Kami pun bergegas memasuki kamar masing-masing untuk sekedar istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan hari ini. Perjalanan kami yang pertama adalah ke Pelabuhan kalianget untuk menyewa speedboat untuk esok hari mengeksplor Pulau-pulau yang ada disekitar Sumenep.

Adzan maghrib pun berkumandang saat kami tiba di alun-alun kota yang kini menjadi Taman Tugu Adipura yang kebetulang berhadapan langsung dengan Masjid Jamik atau yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung. Masjid dengan gerbang besar, pintu kuno yang berdiri kokoh menghadap matahari terbit. Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumenep ini dibangun dengan inisiatif Adipati Sumenep, Pangeran Natakusuma I alias Pangeran Somala (1762 - 1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja membangun masjid yang lebih besar. Setelah sebelumnya dibangun masjid, yang dikenal dengan nama Masjid Laju, oleh Pangeran Anggadipa (Adipati Sumenep, 1626-1644 M).

Dalam perkembanganya, masjid laju tidak mampu menampung jumlah jamaah yang semakin banyak. Setelah kerato selesai pembangunannya, Pangeran Natakusuma I memerintahkan Lauw Pianggo seorang arsitek keturunan China untuk membangun Masjid Jami. Lauw Pianggo adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan salah satu orang China pertama yang pertama kali datang dan menetap di Sumenep. Pembangunan Masjid Jami sendiri dimulai pada tahun 1779 M dan selesai pada tahun 1787 M.

0 komentar:

Posting Komentar